Jumat, 06 September 2013

TINGKAT PERTUMBUHAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN GALESONG SELATAN KAB. TAKALAR


Pertumbuhan
            Hasil analisa menggunakan For Walford (Sparre et al. 1989), di dapatkan nilai parameter pertumbuhan masing-masing dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.       Nilai Parameter Pertumbuhan (L∞, K dan t0) Masing-masing Jenis Kelamin Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Galesong Selatan Kabupaten Takalar.

Parameter pertumbuhan
Jenis kelamin
Jantan
Betina
Gabungan
Panjang Asimptot (mm)
346
340
329
Koefisien  Laju Pertumbuhan (waktu relatif)
0,27
0,28
0,29
Umur Teoritis (waktu relatif)
-0,32
-0,30
-0,29

            Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa panjang asimptot (L∞) untuk kepiting rajungan jantan lebih besar dari pada betina maupun gabungan (jantan betina) yaitu 346  mm untuk jantan, 340 mm untuk betina dan 329 untuk gabungan.
            Koefisien laju pertumbuhan (K) kepiting rajungan baik jantan, betina maupun gabungan (jantan betina) menunjukkan nilai yang rendah karena di bawah 0,5 per bulan sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mencapai panjang asimptotnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Spare et al. (1989) bahwa ikan  yang memiliki koefisien laju pertumbuhan yang rendah akan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang asimptotnya dan ikan yang mempunyai nilai  laju pertumbuhan yang tinggi membutuhkan waktu yang cepat untuk mencapai panjang asimptotnya.
            Panjang asimptot dan koefisien laju pertumbuhan berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2005) mendapatkan nilai panjang asimptot kepiting rajungan di perairan Maros sebesar 22 cm untuk jantan dan 21 cm untuk betina. Sedangkan Anita (2006) di Pulau Battoa, dimana panjang asimptot kepiting rajungan jantan 28,17 cm dan betina 24,23 cm sedangkan koefisien laju pertumbuhan kepiting rajungan jantan 0,20 cm per tahun dan betina 0,18 per tahun. Perbedaan hasil penelitian tersebut di duga di sebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan dari kedua perairan yang tidak sama, sehingga ukuran dan laju pertumbuhan rajungan yang berbeda pula. Nontji (1987) menyatakan bahwa setiap perairan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dalam struktur geografis, musim, dan siklus air, oleh karena itu organisme yang hidup di dalamnya akan mempunyai bentuk dan ukuran tubuh yang berbeda.

MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN GALESONG SELATAN KAB. TAKALAR


Mortalitas dan Laju Eksploitasi
            Pendugaan laju mortalitas merupakan hal yang penting dalam menganalisa dinamika populasi ikan, laju mortalitas dapat memberikan gambaran mengenai besarnya stok yang dapat dieksploitasi terhadap suatu populasi.
Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan yang diperoleh maka hasil perhitungan (Lampiran 11, 12 dan 13) di dapatkan nilai laju mortalitas total (Z), laju mortalitas alami (M), laju mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E) masing-masing sampel kepiting rajungan yang di analisa seperti pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3.     Nilai Dugaan Mortalitas (Z, M, F) dan laju Eksploitasi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Galesong Selatan Kabupaten Takalar

Kategori
Sampel
Mortalitas
Total (Z)
(per waktu relatif)
Mortalitas
Alami (M)
(per waktu relatif)
Mortalitas
Penangkapan (F)
(per waktu relatif)
Laju
Eksploitasi
(E)
Jantan
1,80
0,34
1,47
0,81
Betina
1,71
0,35
1,36
0,79
Gabungan
1,64
0,36
1,27
0,78
           
Dari Tabel 3 terlihat bahwa mortalitas penangkapan (F) kepiting rajungan jantan, betina dan gabungan lebih besar dari mortalitas alami (M). Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting rajungan di perairan Galesong Selatan Kabupaten Takalar umumnya disebabkan karena faktor tingginya frekuensi penangkapan terhadap kepiting tersebut.
            Besarnya kematian karena faktor disebabkan banyaknya kapal-kapal atau usaha yang bergerak di bidang penangkapan terutama yang menggunakan alat tangkap dasar, kurangnya pengawasan terhadap ukuran mata jaring, tidak adanya pembatasan daerah operasional dan kurangnya sosialisasi  dari pihak atau instansi terkait kepada pihak nelayan untuk memberi pemahaman dan melaksanakan tentang pentingnya kelestarian sumberdaya ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nessa (1986) bahwa, jika penangkapan dilakukan secara terus menerus untuk memenuhi permintaan konsumen tanpa adanya suatu usaha pengaturan, maka sumberdaya ikan dalam kurung waktu tertentu dapat mengalami kelebihan tangkapan dan berakibat terganggunya kelestarian sumberdaya.
            Junaedi (2000) melakukan penelitian di Pulau Salemo Kabupaten Pangkep mendapatkan nilai mortalitas 1,142 per tahun untuk jantan dan 1,2980 per tahun untuk betina, mortalitas alami 0,707 per tahun untuk jantan dan 0,768 per tahun untuk betina, mortalitas penangkapan 0,435 per tahun untuk jantan dan 0,530 per tahun untuk betina. Selanjutnya Anita (2006) di Pulau Battoa mendapatkan nilai mortalitas total 0,9920 per tahun untuk jantan dan 1,3960 untuk per tahun untuk betina, mortalitas alami 0,4628 per tahun untuk jantan dan 0,5075 per tahun untuk betina, mortalitas penangkapan 0,5292 per tahun untuk jantan dan 0,8885 per tahun untuk betina. Nilai mortalitas yang berbeda dari beberapa penelitian di atas dengan yang ada di perairan Galesong Selatan Kabupaten Takalar di duga karena kondisi perairan yang tidak sama sehingga penyebab kematian alami akan berbeda, dan jumlah atau intensitas penangkapan di masing-masing daerah yang berbeda pula. Laju eksploitasi menunjukkan besarnya tingkat pengusahaan suatu stok perikanan. Laju eksploitasi (E) kepiting rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh sebesar 0,81 per waktu relatif untuk jantan, 0,79 per waktu relatif untuk betina, 0,78 per waktu relatif untuk gabungan (jantan betina). Ini berarti bahwa kepiting rajungan di perairan Galesong Selatan Kabupaten Takalar  memiliki laju eksploitasi tinggi.

Jumat, 24 Mei 2013

Cumi-cumi (Loligo chinensis)


Klasifikasi dan Ciri Morfologi

Menurut Roper, et al. (1984) klasifikasi cumi-cumi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
  Phylum : Mollusca
     Kelas : Cephalopoda
        Ordo : Teuthoidea
            Sub-Ordo : Myopsidae
                Family : Loliginidae
                    Genus : Loligo
                         Spesies : Loligo chinensis

Menurut Nontji (2002), cumi-cumi memiliki tubuh langsing, kerangkanya tipis, bening dan terdapat dalam tubuhnya. Cumi-cumi berenang menggunakan sistem propulsi jet yakni menyemburkan air lewat organ berupa corong. Kelas Cephalopoda umumnya tidak mempunyai cangkang luar, pada cumi-cumi cangkang terletak di dalam rongga mantel yang berwarna putih transparan. Tubuh cumi-cumi tertutup oleh mantel tebal yang diselubungi oleh selaput tipis berlendir, pada bagian bawah mantel terdapat lubang seperti corong yang berguna untuk mengeluarkan air dari ruang mantel (Barnes, 1974 dalam Nurcaya, 2004).

Cumi-cumi L.chinensis memiliki mantel memanjang, ramping, berujung tumpul, sirip berbentuk belah ketupat, panjang lebih dari 60% dari panjang mantel pada cumi-cumi dewasa. Panjang mantel maksimum 400 mm tapi secara umum panjang mantelnya 200 mm (Carpenter dan Niem, 1998 dalam Khairiyah 2007).




                  Gambar 1. Loligo chinensis (A) Tampak ventral; (B) Tampak dorsal; (C)
                                   Gladius; (D) Gada (tentacular club); (E) Lengan hektokotil; (F)
                                    Alat Pengisap (Jereb dan Roper, 2006).